HBD untukku. (Haruskah?)

Pagi ini, aku sengaja bangun lebih awal pukul 05.00. Biasanya pukul 05.30. Setengah jam lebih awal. Aku sadar kalau hari ini usiaku bertambah 1 tahun lagi. Genap aku berada di usia 32. Jadi aku khusuk berdoa mengucap syukur karena punya waktu selama itu untuk menikmati bumi ini. Aku cek smart phone, benar saja sudah banyak ucapan ulang tahun untukku dari kerabat juga teman-teman. Yang aku buka pertama sms dari ibuku. Isinya singkat, begini katanya “selamat ulang tahun nduk, sehat dan bahagia terus. TM” pesan tersebut masuk pukul tepat pukul 00.00 wib. Ia, ibuku tidak pernah lupa bangun ditanggal ulang tahun anak-anak nya dan berdoa untuk kami. Dia bangun hanya untuk berdoa. Tidak ada lilin, tidak ada kue, tidak ada lagu happy birthday. Dia hanya tidak mau tidur pulas anak-anak nya terganggu. Biasanya keesokan harinya pukul 05.00 barulah rumah rame untuk tiup lilin. 

Aku tau doa ibuku semalam pastilah tidak beda dengan doanya sehari-hari. Mungkin sudah bertahun-tahun doanya belum berubah dan belum terwujud juga. Mengenai diriku yang memilih untuk sendiri.

Aku menikmati diriku, hanya saja aku terkadang merasa iba pada ibuku yang sesekali tidak bisa menutupi rasa kasihan nya pada diriku. Ia selalu berusaha melihat dari sisi pandanganku, tapi aku tau usaha kerasnya tak bisa 100% melihat apa yang aku lihat. Aku pun berusaha sebisaku menunjukkan padanya jika aku benar-benar bahagia dengan hidupku. Akupun membalas SMS nya “iya Bu, aku selalu sehat, selalu bahagia. TM” ya hanya sesingkat itu. 

Memang, jika dilihat jauh ke belakang,aku dan ibu tidak memiliki hubungan yang begitu erat. Hubungan kami sewajarnya saja. Antara ibu dan anak. Ya, dia ibu yang baik. Ibu yang pekerja keras, yang selalu memenuhi kebutuhan anak-anak nya. Aku mengidolakannya, tapi aku juga tidak sedekat itu dengan beliau. Lain halnya dengan adik-adikku, mereka selalu punya topik untuk dibahas, satu hari tak pernah terlalu lama untuk ngobrol ngalur-ngidul. Senang rasanya melihat mereka yang begitu mesra. Aku gak cemburu sama sekali. Sama sekali tidak. Aku rasa ini hanya sebatas watak. Watak cuek, tidak baperan, semuanya sewajarnya saja. 

Benar, sejak remaja aku sudah jauh dari rumah untuk sekolah. Aku tak ingin sekolah di kampung. Aku ingin punya teman orang kota yang cara pikirnya lebih maju. Bukan berarti aku tak suka anak kampung, tapi cara pikirku memang sudah beda sejak dini. Ibu bapakku juga menyanggupi untuk biaya hidupku di luar kota. Aku tak pernah lagi benar-benar pulang kampung sejak saat itu. Yang ada aku hanya berkunjung jika ada libur. Tak pernah lebih dari seminggu. Bukan karena rindu, karena aku benar-benar tak pernah merindu. Aku hanya berpikir logis, untuk mengunjungi orang yang masih ada. Bagaimanapun label keluarga tidak bisa ditanggalkan diantara kami. Kini aku bekerja di ibu kota, seperti tebakanmu, aku rajin pulang 1x setahun sekedar menjenguk mereka. Bukan karena rindu.

Jika aku ingat-ingat lagi, sejak usiaku 27th ibuku semakin sering meminta waktuku untuk sekedar ngobrol dengannya. Aku bingung harus membahas tentang apa dengannya. Tapi bagaimanapun, dia ibuku. Aku harus meladeninya. Lewat hp dia bercerita banyak, tentang warungnya yang selalu rame pengunjung, tentang tetangga yang baru saja lahiran, tentang adikku yang punya calon istri yang cantik, tentang bapakku yang tidak lagi menghisap cigarette diusianya yg hampir menginjak 60th, dan banyak lagi hal-hal yang dia ceritakan padaku. Tapi rasanya itu bukan mengobrol, karena aku hanya pendengar, dan tak tahu harus merespon apa. Walaupun ibuku berusaha agar ini menjadi obrolan yang asik, yang hangat antara ibu dan anak, but it not working at all.

Sudah 8 tahun sejak ibuku ‘sok’ akrab dengan ku. Sebenarnya aku paham maksud beliau. Ia mulai sadar kalau ada banyak hal terlewat antara aku dan dia. Ia ingin menebus masa-masa itu. Ditambah usiaku yang sudah tidak belia lagi. Dia ingin aku segera mengakhiri masa lajangku, agar aku bahagia. Sudah sejak 8 tahun lalu juga ia berusaha mengenalkanku dengan kerabat-kerabat kami. Aku tidak tertarik sama sekali. Rasanya aku yang sekarang cukup bahagia. Lebih dari separuh hidupku kujalani tanpa siapa-siapa. Hal apa yang tidak bisa aku kerjakan sendiri? Rasanya tidak ada. Masa-masa terpuruk mana yang tidak bisa kulalui? Rasanya tidak ada, nyatanya hari ini aku sudah berada diusiaku yg ke 32. Bahkan teman-teman ku yang sudah beranak 2 atau 3 selalu merasa iri denganku. Dengan pencapaian-pencapaian ku, dengan caraku menikmati hidup tanpa dibatasi apa-apa. Rasanya hampir tak ada rasa iri pada teman yang sudah menginjakkan kaki di pelaminan. Mereka sama sekali tidak membuatku iri, yang ada rasa iba mendengar curahan hati mereka. Bahagia itu semakin hari semakin menipis di rumah tangga. Itu artinya pernikahan tidak menjamin kebahagiaan bukan?

Hanya saja mulai ada rasa mengganjal setiap mendengar suara ibuku lewat hp. Dia berusaha sehalus mungkin untuk memastikan apakah aku benar-benar tidak akan menikah? Apakah aku benar-benar oke dengan keadaanku sekarang? Dia mengkhawatirkan jika besok aku sudah renta, siapa yang akan merawatku? Dia tidak rela meninggalkan dunia ini jika aku masih sendiri.

Aku mulai goyah karena iba padanya. Ya, walaupun hubungan batin kami tidak sedekat itu, aku mulai berpikir ulang demi beliau. Agar jika ia berpulang, tak perlu terbeban karenaku. Apakah aku harus merubah komitmen hidupku? 

Jam mengharuskanku segera berangkat ke kantor. Dengan menyetir mobil sedan kesayanganku, aku berusaha mencari alasan untuk melanggar komitmen hidupku ini. Haruskah?~~

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Jaringan Kerja

Pengalengan Maret 2022

Metode Jalur Kritis