My Lost Prince
My Lost Prince
Panggil
aja aku Libby. Sekarang aku sedang duduk dikelas XI SMA jurusan IPA. Aku punya seorang Kakak, Nino Prasetiady
namanya. Sekarang ia sedang menjalani masa perkuliahannya di jurusan Sastra dan
kini sudah memasuki semester enam. Kak Nino salah satu anggota basket di
kampusnya.
Kak
Nino sering membawa teman-teman kampusnya ke rumah untuk latihan basket.
Sebanyak apapun tugas sekolahku akan selalu terasa ringan karena teman-teman
kak Nino akan selalu bersedia mengerjakan tugas-tugas yang membosankan itu. Tak
usah heran mengapa dandananku tidak seperti anak-anak cewek kebanyakan. Rambut
yang selalu cepak dan kaus oblong menjadi style favoritku. Mama Papaku sudah capek mengingatkanku agar lebih feminim
lagi, karena sebentar lagi aku akan memasuki usia sweet seventeen yang kebanyakan orang mengatakan diusia
inilah gerbang
untuk memulai segalanya. Termasuk
juga gerbang bagiku untuk memulai hidup sebagai gadis seutuhnya. Tapi aku gak
pernah mendengarkan celoteh orangtuaku. Aku nyaman dengan pembawaanku sekarang.
Gak jarang juga aku berangkat ke sekolah tanpa sisiran. Cukup pakai lima jari,
rambutku sudah cukup rapi. Hihih.
Dddrrrtt…
From : brad Kian
Libb..aku datengnya telat. jalanan
macet. Kamu pemanasan dulu ya. Sampai ketemu.
Brad
Kian. Gitu biasa aku memanggilnya. Dia itu ketua tim basket di kampus Kak Nino.
Brad Kian dua tingkat lebih ganteng dibanding dengan kakakku. Ialah, kalau gak
ganteng gak bakal dinobatkan jadi ketua basket. Hehe, aku bercanda. Dia itu
menjabat sebagai ketua tim pastinya karena skillnya yang udah diakui di seantero
perbasketan. Buktinya selama empat tahun dia menjabat sebagai ketua tim, dia
selalu membawa timnya menyandang gelar juara disetiap pertandingan yang mereka
ikuti.
“Libby,
pemanasan dulu. Kian kena macet tuh” Kak Nino setengah berteriak dari balkon.
“Ia..udah
tahu kok” kataku sambil menengadah ke atas. Kak Nino menyuguhiku sebuah jempol
lalu menghilang. Sudah hampir seminggu Kak Nino gak megang bola baket. Dia lagi
terserang galau berat karena diputusin sama pacarnya.
Brad
Kian seorang kapten basket yang pengertian, baik, bertanggung jawab, body
atletis, super keren deh pokoknya, dan sejauh ini dia belum punya cewek.
Padahal setiap lima menit ada saja cewek yang menyatakan cinta padanya. Dia
alasan aku jatuh cinta pada basket. Dari cara dia ngendrible bola, menggiring
bola, sampai ngeshot. OMG, jangankan cewek, cowok pun pasti akan kesem-sem
ngeliatnya.
Kumulai
pemanasan dengan push-up, sit-up
hingga berlari mengelilingi lapangan. Aku bukan tipe yang suka berbohong, jadi
walaupun tak ada yang mengawasi, kupastikan aku benar-benar pemanasan dengan
benar.
Brad
Kian tiba dengan jaket kulit berwarna cokelat dan helm fullfacenya. Tanpa menyapaku, dia langsung ke ruang ganti. Tak
lama, Brad Kian kembali dengan kostum basket lengkap dengan pelindung di kaki
dan tangannya. Setelah pemanasan sekitar lima menit, baru Brad Kian
menghampiriku.
“Maaf
ya..aku telat.” katanya sambil mengacak-acak rambutku.
Sebulan
lagi kami akan mengikuti lomba. Lomba yang akan kami ikuti ini sebenarnya khusus
untuk cowok dan bebas dari seluruh kalangan. Semua anggota tim ini cowok
kecuali aku. Ditambah mereka semua sudah sangat berpengalaman. Jadi tidak
terlalu masalah, jika hari ini mereka tidak latihan. Akulah yang perlu dipoles
agar nanti tim kita bisa menang. Apalagi untuk ikut lomba ini adalah atas
permintaanku sendiri karena tergiur dengan hadiah membuat liurku meleleh setiap
melihat nominalnya.
Selepas
latihan, dengan napas yang masih ngos-ngosan dan kringat yang membasahi seluruh
badan, kami meluncur untuk mencari sesuatu yang dapat menyejukkan tenggorokan.
Demi permintaan maaf, karena Brad Kian datangnya telat dan telah membuatku
menunggu, dia mentraktirku segelas es klapa muda. Seperti biasa, segala yang
gratis, tingkat kenikmatannya itu pasti lebih. Hehe.
Sehabis
makan malam, aku dan Kak Nino dengan manis mendengarkan ultimatum yang kurang
penting dari mama dan papa sebelum kami masuk kamar masing-masing.
Kulemparkan
badanku di springbed yang embuk lalu membuka pesan di ponsel.
From : Nara BFF
Bintang, jangan lupa besok ada
ujian matematika. Dan yang terpenting besok ada siswa baru yang akan duduk di
sebelahmu. Bu Eni wali kelas kita, menyuruhku untuk duduk dibangku belakangmu.
Jadi kita tidak terpisah terlalu jauh.
Duapuluh
meter dari ruang kelas, Nara langsung menggandengku masuk ruang kelas dan
menunjuk anak cowok dengan penampilan rock and roll
telah duduk di samping kursiku. Aku melihat sikapnya yang dingin dan aku telah
mendengar gosip kalau dia adalah salah satu anggota geng yang terkenal kacau di
luar sana. Ini dia kelebihan sekolahku. Siapa pun bisa masuk. Kalau kau pintar,
kau akan dimasukan ke kelas yang isinya
para tikus lab. Begitu orang-orang menyebut mereka yang berpakaian culun dan
kaca mata tebal tergantung di batang hidung mereka. Jika kau anak orang kaya,
ada kelas khusus untukmu. Disana anak-anak akan berlomba-lomba pamer barang limited edition
setiap harinya. Dan aku hanya dapat kelas yang menengah. Disini aku menemui
orang yang berhati malaikat seperti Nara, dan tak ada yang aneh-aneh di
kelasku. Semua berjalan normal.
Kubuka
catatan matematika
dengan headset tertanam di telingaku. Sambil kepala ngangguk-angguk aku mencoba
memahami pelajaran agar nanti aku mendapat nilai sempurna. Aku tak menghiraukan
siswa baru disampingku walaupun dia sudah masuk daftar bahan pergosipan para
cewek di sekolahku. Dan emang pantas sih dia masuk deretan cowok-cowok tampan
di sekolahku.
Pada
saat pelajaran olahraga, Pak Tigor yang seharusnya menjadi guru pembimbing kami
tidak masuk. Ini kabar bahagia bagi kebanyakan siswi di kelasku. Karena mereka
selalu lebih senang bergosip daripada olah raga. Aku dan beberapa teman cowok
lainnya bermain basket. Sesekali kuperhatikan anak baru itu, Samuel namanya dan
biasa di panggil dengan Sam, begitu dia saat memperkenalkan diri didepan kelas.
Dia duduk di bawah pohon sambil memegangi ponselnya. Beberapa anak cewek
lainnya menunjuk-nunjuk kearahnya. Sesekali dia balas dengan senyuman terpaksa.
Tapi aku tak tertarik untuk mengajaknya gabung bermain basket. Dia terlalu
dingin untuk diajak bermain.
Gak
sengaja, bola basket mengenai ponsel si anak baru. Saat Tio datang mengambil
bola dan minta maaf. Tanpa ada yang menduga, dia langsung menonjok Tio hingga
terjatuh. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung berbalik badan dan meninggalkan
Tio yang memegangi hidungnya yang mulai mengeluarkan darah encer. Karena
lapangan basket kami outdoor dan matahari mulai terik, darah yang keluar jadi
lebih banyak. Tanpa pikir panjang, kupungut bola basket dan langsung
melemparnya tepat di tengkuknya. Dia menghentikan langkahnya dan melihat
kearahku dengan tatapan seperti singa betina kelaparan yang siap menyantap
daging segar di hadapannya. Dengan gontai kulangkahkan kakiku menghampirinya
hingga jarak kami kini hanya beberapa jengkal.
“Hei
anak baru. Aku tahu kamu gengkers
atau apalah sebutan untuk mereka yang suka berandalan diluar sana. Tapi ini
sekolah. Apa kamu gak ngerti kata maaf? Apakah hati dan otakmu udah gak
berfungsi lagi? Temenku udah minta maaf. Tapi kamu malah menonjok hidungnya
hingga berdarah.” mataku menatap matanya dalam-dalam.
Salahlah
pepatah yang mengatakan mata adalah jendela hati. Matanya tak terbaca, bahkan
aku tak tahu apa yang sedang dia pikirkan. Dan aku baru menyadari kalau memang
ada raut tampan tergambar diwajahnya. Cepat-cepat kuseimbangkan kondisiku yang
sempat terpana pada ketampanannya yang tersembunyi. Toh dia telah melukai
temanku. Dia pergi begitu saja seperti tak mendengar celotehku barusan. Sekali
lagi dia balik badan meninggalkan kami semua beserta beberapa siswa yang
mengerumuni kami. Dia berjalan dengan santai sambil tangan teselip dikantong
celananya. Kupandangi pundaknya menghilang menjauh dariku. Aku dan teman
lainnya langsung menggotong Tio ke ruang UKS.
Seperti
biasa, aku bolos lagi. Karena melukis bukan mata pelajaran yang aku sukai. Aku
lebih memilih menonton kakak kelas yang lagi latihan basket. Saat pelajaran
usai, aku kembali ke kelas mengambil tas ransel hitamku. Hanya tersisa dia
sendiri di ruangan kelas. Tapi aku tak memedulikannya. Kubereskan buku-buku
yang berserakan di meja.
“Maaf”
aku mendengar kalimat itu dengan sedikit ditahan. Aku lirik ke arahnya yang
masih duduk di bangkunya. Dia mendongakkan wajahnya menatap ke arahku. Aku
sempat kehilangan keseimbangan, karena sorot matanya kini menunjukkan sorot
mata yang tulus dan memohon.
“Maaf
telah membuat temanmu terluka.”
“Apapun
masalahmu, aku gak suka caramu mencampuradukkan privasi dengan yang lainnya”
kataku tegas sambil melanjutkan merapikan tasku.
“Maukah
kau pulang bersamaku? Anggap untuk menebus kesalahanku padamu dan pada
teman-temanmu. Jangan pikirkan kalau aku akan macam-macam denganku. Percayalah,
aku pria baik-baik.” dia menyuguhkan senyum nakalnya yang membuatnya tampak
lebih manis. Kurasa aku sudah gila. Bisa-bisanya aku menurut untuk dia antar
pulang. Jelas-jelas sejak awal masuk sekolah aku tak suka padanya. Dan tadi
siang darahku sempat mendidih melihat tingkah lakunya.
Sejak
siang itu, aku mulai dekat dengannya. Beberapa kali kami berangkat bareng ke
sekolah. Sampai-sampai kami sempat jadi bahan gossip di sekolah. Motornya
diservis sehingga tidak lagi memekakkan telinga. Dia selalu sampai di ruang
kelas lebih awal dariku.
Siang
ini kami mengakhiri kelas dengan mata pelajaran Bahasa Prancis. Nara hari ini
ada jadwal untuk menemani bundanya ke salon. Jadi dia buru-buru ke luar kelas.
Itu berarti aku harus pulang sendiri lagi.
Saat
aku akan beranjak dari bangkuku, Sam berdehem. Tapi aku tak menolehnya sama
sekali. Aku hanya berpikir kalau dia hanya berdehem biasa.
“Libby..maukah
kau menemaniku makan siang hari ini?” aku tak tahu harus menjawab apa. Kenapa
sejak aku melemparnya dengan bola basket dia banyak berubah. Apakah otakknya
telah bergeser atau bahkan korslet?
“Ee..
itu, aku harus latihan basket” kataku sambil pura-pura merapikan rambutku.
“Kupastikan
aku makan gak lebih dari 15 menit. Lalu kau aku anter ke tempat latihanmu. Tapi
kalau kau gak punya waktu, boleh digantiin jadi dinner”
Waw..benar-benar
udah gak beres ni anak. Tapi kalau dia lagi bersikap manis kayak gini, aku juga
susah untuk menolaknya.
“Baiklah.
Kupastikan gak lebih dari 15menit dan jangan harap kau bisa macam-macan”
“Ye
elah..kau khawatir ? sebelumnya juga kita udah pernah jalan bareng kan ? aku
gak bakal macam-macam kok. Janji.” Dia mengangkat tangannya, tangannya sejajar kepalanya.
“Aku sedang berada dalam masa transisi” ia memulai
pembicaraan. Untuk beberapa detik, kuhentikan gerakan sendok ditanganku.
“Mami
papiku baru saja bercerai. Aku telah berusaha keras untuk tidak membiarkan
mereka bercerai. Tapi mereka terlalu tua untuk dinasehati. Aku terlalu cinta
pada mami papiku, hingga aku memutuskan untuk tidak memilih satupun diantara
mereka. Kabar yang kamu dengar mengenai aku adalah anggota geng. Itu benar. Aku
depresi. Gak ada teman yang bisa mengerti keadaanku. Jadi aku rasa gak ada
salahnya jika aku bermain-main sedikit di luar sana.”
“Aku
dikeluarkan dari pihak sekolah. Aku gak pernah lagi masuk sekolah, sampai
Marcello memungutku dan menyekolahkanku disini. Marcello hanyalah seorang pegawai
restoran. Dia seorang pemuda yang baik hati. Dia memungutku di jalanan malam
itu saat aku benar-benar ingin mengakhiri hidupku. Dia bilang, aku masih
terlalu muda untuk mengakhiri cerita hidupku. Dia bilang aku hanya cukup
bersabar untuk membuka setiap lembaran-lembaran di setiap harinya. Karena akan
selalu ada lembaran baru yang penuh dengan kejutan-kejutan yang tak pernah
kupikirkan sebelumnya. Sejak malam itu aku berjanji untuk menghargai setiap
hariku, karena ternyata masih ada orang yang mau berbagi kasih sayang padaku.
Demi Marcello, aku ingin menjadi lelaki yang sesungguhnya. Aku juga telah
memutuskan untuk memulai hidup baruku sejak aku tinggal bersamanya di
kontrakannya yang kecil.”
“Tapi
dihari temanmu mengenaiku dengan bola basketnya, aku sedang memikirkan
orangtuaku, dan tiba-tiba bola basket mengejutkanku. Aku tak bisa menahan amarah
karena aku sangat terkejut. Saat kamu memarahiku, aku baru ingat kalu aku udah
berjanji pada diriku demi Marcello untuk tidak bersikap bodoh lagi. Aku telah
keluar dari geng dan berhenti mengutuki diri sendiri.”
Dia
jadi sedikit salah tingkah setelah menceritakan tentang masa lalunya. Aku hanya
mengagguk-angguk tanpa banyak komentar tentang kisahnya barusan. “kamu hanya
perlu sedikit waktu”
“Oh..kamu
harus latihan. Ayo aku antar.”
Dengan
kecepatan maksimum, kami membelah jalanan dengan motor bebeknya. Sesampainya di
depan gerbang, semua anak-anak yang sedang serius latihan. Terlihat jelas
keringat
mereka yang membasahi wajah hingga leher mereka. Aku langsung berlari kecil ke
ruang ganti sampai lupa bilang terimakasih pada Sam. Sehabis latihan aku dapat peringatan
dari seluruh anggota basket.
**
Aku
terlalu sering terlambat, konsentrasiku menurun, ambisi untuk juara mulai
terkikis, begitu kakak-kakak basket mengomentari tingkah anehku beberapa waktu
terakhir. Dan anehnya, aku seolah-olah tak mendengarkan protes mereka. Aku
hanya sedikit bingung dengan perasaan sekarang. Tanpa sebab, aku selalu merasa
gembira. Seperti orang-orang baru memenangkan lotre.
“Bintang
Magdalena alias Libby, dua minggu lagi kita akan terjun ke lapangan. Tapi aku
liat, kamu mulai gak serius. Hari ini kamu telat lagi. Sejak awal ini
permintaanmu. kalau pertandingan ini di cancel, gak ada masalah bagiku.
Temen-temenku sangat mementingkan disiplin. Setelah duapuluh menit menunggu
kedatanganmu dan ternyata tidak datang juga, mereka memintaku untuk ngomongin
masalah ini ke kamu. Tolong dipikirkan baik-baik. Hari ini latihan kosong”
Kuputar-putar
bola basket sambil mendengarkan ceramah Brad Kian. Brad Kian berlalu dari
depanku tanpa pamit. Dia benar-benar marah pada sikapku. Kuambil ponsel blackberryku dan
mengirim pesan pada Sam. Lagi-lagi aku bertingkah gila, kenapa aku harus
meminta Sam datang menemuiku.
Aku
minta maaf pada Brad Kian dan anggota lainnya. Hari H tinggal menghitung jari.
Aku meyakinkan mereka kalau aku telah latihan keras. Sungguh kakak-kakak yang sangat pengertian. Kami
kembali latihan bersama dan pastinya Sam selalu ada menemaniku selama aku
latihan.
Sehari
sebelum pertandingan basket, dan segala persiapan udah mantap, Sam mengajakku
untuk makan malam berdua di restoran tingkat rendahan. katanya untuk syukuran
pra juara. Besok akan ada lagi syukuran pasca juara. Well, aku manut aja rencana-rencana kecilnya.
“Bintang..aku
gak tahu apakah ini yang dimaksud oleh Marcello. Jika kita tak menutup
lembaran-lembaran cerita hidup kita dengan buru-buru, kita hanya cukup bersabar
untuk membukanya lembar-demi lembar, kita akan menemukan banyak kejutan yang
tak pernah kita pikirkan sebelumnya. Aku rasa dia lebih dari benar. Aku banyak
berhutang budi kepadanya. Aku telah
membuka lembaran yang sangat istimewa. Tak pernah kubayangkan sebelumnya
kejadian apa yang telah menantiku di lembaran yang masih tertutup. Dan ternyata
kaulah orangnya. Kaulah kejutan di setiap lembar hariku dan kuharap kau yang
akan selalu memenuhi lembaranku untuk seterusnya. Maukah kau, Bintang Magdalena
?”
Aku
hampir tak mempercayai apa yang barusan
aku dengar. Seperti ribuan kembang api di malam tahun baru meletup-letup dan
mewarnai langit yang kosong. Begitulah yang sedang kurasakan sekarang. Rasanya
bodoh, jika aku mengabaikan pria yang ada di hadapanku sekarang. Jarak kami
hanya dipisahkan oleh sebuah meja bundar kecil di lapisi dengan kain putih
serta lilin kecil di tengahnya.
“Tak
pernah sebelumnya aku melakukan hal bodoh seperti ini. Tapi aku akan merasa ini
hal istimewa jika kau mau menerima tawaranku untuk menjadi pengisi lembarku
disetiap harinya”
“Samuel
Pratama, aku tak akan pernah bersedia untuk menjadi pengisi lembaran hidupmu.
Kecuali jika kau juga melakukan hal yang sama padaku. Mengisi lembaranku setiap
saat sampai jangtungku tak sanggup lagi berdetak”
Mata
kami saling memenjara untuk sesaat dan kami tertawa bahagia seperti orang yang baru
saja memenangkan undian. Malam itu jadi malam istimewa kami. Lembaran yang
sangat istimewa.
**
Sepuluh
menit lagi pertandingan akan dimulai. Sam belum ada dilokasi. Penampilanku
tidak kalah maco dengan kakak-kakak satu timku. Aku yakin kalau tim kami bakal
memenangkan
pertandingan ini. Focus dan kerjasama. Itu pesan ketua tim, Brad Kian. Tapi
sejak sampai di lokasi, sepertinya Brad Kian ingin mengatakan sesuatu padaku.
Tapi aku tak memedulikan sikapnya yang sedikit janggal, karena aku juga sedang
sibuk mencari-cari Sam yang belum ada di lokasi. Mau gak mau, kami memulai
pertandingan karena sudah saatnya giliran kami. Beberapa kali aku kehilangan
konsentrasi hingga wajahku terkana bola. Sam belum juga ada di lokasi. Dia gak
melihat permainanku, padahal semalam dia bilang ke aku, kalau dia ingin mengisi
lembarannya dengan permainanku yang spektakuler.
Babak
final akan dimulai. Aku harus focus dan melupakan tentang Sam. Babak ini sangat
penting bagiku. Apakah dia benar-benar gak akan datang, apakah dia seorang
pembohong, aku harus membuang jauh-jauh pikiran negatifku tentangnya. Kami baru
jadian kemarin. Aku menerima dia jadi pacarku karena aku yakin dia punya hati
yang baik. Aku focus dalam permainan karena ini tinggal selangkah lagi, aku
harus bermain lima kali lebih serius dibanding saat latihan. Kuanggap ini untuk
membalas beberapa kesalahanku pada tim. Ini adalah permainan terbaikku sejak
aku mengenal bola basket. Timku menyandang gelar juara. Kami berpelukan, dan
gak terasa air mata menetes dari kelopak mata. Sungguh aku merasa mendapat
keluarga baru dalam tim ini. Kami pernah pecah dalam tim, tapi kami dapat
kembali saling menerima dan kerja keras kami tak sia-sia.
“Libby,
aku mau ngomong sesuatu”
Brad
Kian berbisik padaku ditengah keramain. Kuserahkan piala ditanganku pada kakak
di sebelahku. Lalu Brad Kian membawaku ke tempat yang sedikit lebih tenang.
“Libby.. kakak suka sama kamu sejak pertama kali
bertemu. Itu kenapa aku selalu gak pernah absen dan gak pernah nolak tiap kali
kamu minta diajari atau ditemenin main basket. Itu juga kenapa aku memenuhi
permintaanmu untuk ikut lomba ini, dan aku memilih teman-teman terbaikku untuk
pertandingan ini. Agar kita menang. Dan buktinya kita menang. Aku salut pada
sikapmu yang keras kepala, tapi hatimu sungguh lembut. Kamu bahkan minta maaf
pada kami semua. Kerja kerasmu memberi aura positif untuk tim kita. Aku mau
bilang, I love you so much. Maukah kau jadi teman spesialku?”
Aku
tercengang mendengar semua kalimat yang dilontarkan Brad Kian padaku. Aku
selalu menganggapnya kakakku nomor dua setelah kak Nino. Mataku gak berkedip
melihatnya. Aku sungguh tak percaya. Tiba-tiba aku teringat Sam. Kutinggalkan
Brad Kian yang masih mematung. Kucari Sam di seluruh ruangan, aku tak
menemukannya. Kulihat layar ponselku, duapuluh lebih panggilan dari Sam. Aku
tiba-tiba merasakan sesuatu yang janggal. Kubuka pesan yang tak kalah banyaknya
dari panggilan tak terjawab. Sam di rumah sakit. Jantungku berhenti berdetak
untuk beberapa detik. Kami satu tim langsung ke rumah sakit dengan kostum
basket yang masih lengkap.
Kondisi Sam sangat mengkhawatirkan. Dia
kecelakaan saat di perjalanan menuju lokasi pertandingan. Aku menangis sesegukan
di pelukan Brad Kian. Brad Kian tampaknya mengerti kalau aku dan Sam sudah
memiliki hubungan yang khusus.
Monitor
Sam tiba-tiba bersuara panjang. Titttt….Tangis
mami Sam memenuhi ruang rumah sakit. Aku tak mampu melihat kenyataan.
Kita
takkan pernah tahu lembaran berikutnya jika kita tak membukanya. Ada banyak
kejutan di setiap lembarannya. Lembaranku hari ini sangat banyak kejutan. Aku
memenagkan pertandingan, Kak Nino mengutarakan cintanya padaku, dan aku harus
melihat kau mengakhiri lembaranmu. Semua badanku terasa lemas. Kakiku tak
sanggup lagi menopang badan ini. Hatiku meleleh seperti mentega dipenggorengan
panas. Tak pernah aku mengalami lembaran sesulit ini sebelumnya.
Lembaran
berikutnya tampak selalu suram dan
semakin suram, tak pernah ada warna yang tergores di lembaranku. Aku
vakum dari dunia perbasketanku. Badanku kurus kering karena tak mau makan. Mama
papa dan Kak Nino tiap hari sibuk mencari pskiater yang dapat mengembalikan
keceriaanku semula. Sekolahku terbengkalai, hingga mamaku harus mengurus cuti
selama satu semester agar aku gak di tendang dari sekolah dengan alasan
kebanyakan absen.
Hingga
di minggu pagi, aku lihat Mami dan Papi Sam datang ke rumah. Brad kian juga ada
disana. Mereka mengingatkanku kalau aku masih punya lembaran yang masih banyak
yang harus dibuka. Karena setiap lembarannya punya kejutan sendiri. Di lembaran
yang belum dibuka, pasti ada kejutan yang lebih indah dari lembaran berikutnya.
Sam pasti akan bangga dari sana jika melihatku membuka tiap lembaran dengan
ceria.
Begitu
mereka menasehatiku untuk bisa sedikit keluar dari kesedihan. Akupun mulai
belajar membuka lagi lembaran-lembaranku.
Aku
kembali menjadi ketua tim basket di sekolahku. Kudengar Mami Papi Sam telah
tinggal di satu atap, dan tak lama lagi mereka akan di temani seorang bayi.
Brad Kian datang padaku meminta izin untuk pacaran dengan seorang model yang
sangat cantik. Aku rasa tingkah brad Kian sedikit konyol.
Aku
juga berjanji untuk mempersembahkan setiap lembaranku pada Sam, berharap dia bangga
dengan perkembanganku kini yang pastinya sudah menjadi wanita feminim dengan
rambut mulai menjuluri bahu.
**
Aku
harus terbang ke London untuk melanjutkan studiku sebagai mahasiswa.
Kukencangkan sabuk pengaman sesuai aba-aba pramugari karena sebentar lagi
pesawat akan lepas landas. Kupejamkan mataku untuk menghilangkan rasa takut.
“Kamu
baru pertama kali naik pesawat ya? Santai aja. Jangan terlalu tegang.
Perkenalkan, nama saya Samuel pernando. Panggil aja Sam”
Seorang
cowok dengan wajah blasteran ternyata dari tadi memperhatikanku. Namanya Sam.
Mungkinkah ini Sam kedua yang akan mengisi tiap lembaranku berikutnya ?
“Panggil
aja aku Libby” kataku sambil mengulurkan tanganku padanya. (*end)
Comments
Post a Comment