Dosa Seorang Lelaki Dewasa
Hari
ini gerimis turun lagi. Jam tangan hitam mewah dipergelangan kananku
menunjukkan pukul lima lewat. Hampir jam 6. Sebentar lagi adzan magrib
berkumandang. Itu berarti hampir semua aktifitas segera usai. Apapun profesi
yang ditekuni.
Jika
kau pernah tinggal di daerah pedesaan, mungkin saat ini kau akan melihat para
petani berbaris menapaki jalan setapak dari pinggiran sawah dengan pacul di
pundak menuju rumah mereka. Satu dua mungkin saling bercakap membicarakan makan
apa yang disediakan oleh istri tercinta di rumah. Atau membicarakan mengenai
rencana esok hari mengenai lanjutan pekerjaan yang belum rampung ini hari.
Para
ibu yang hanya berperan sebagai ibu rumah tangga segera menyudahi anaknya yang
lagi asik bermain dengan anak tetangga di halaman. Menyuruh mereka mandi,
berganti pakaian, lalu persiapan makan malam.
Ini memang sudah menjadi kebiasaan. Mungkin hampir diseluruh pelosok nusantara ini. Tak ada yang boleh beraktifitas lagi saat menjelang magrib. Aku pernah menjadi anak kampung. Menjadi anak sepasang petani.
Aku
tak tahu seberapa besar kemungkinan mitos itu benar. Tapi mitos itu benar-benar
bisa mempengaruhi gaya hidup orang kampung. Sesaat sebelum adzan magrib, tak
ada lagi yang boleh berkeliaran di halaman. Apalagi bekerja. Tak baik. Hanya
itu komentar para orang tua jika ditanya mengapa kalau jam-jam magrib tak boleh
melakukan banyak aktifitas. Ada juga cerita versi horror mengenai jam-jam
segini. Sehingga anak-anak lebih gampang di ajak masuk rumah karena takut akan
cerita-cerita dari nenek moyang yang turun-menurun.
Alam
menghantarkanku hingga seperti sekarang ini. Tinggal di kota besar. Kota yang
dulu hanya kulihat dari layar tetanggaku. Proses yang sangat melelahkan memang.
Tapi tak apalah. Toh itu sudah lewat.
Lihat..dari
gedung tinggi ini, terlihat jelas kendaraan mengantri di sepanjang jalan.
Ditambah gerimis membuat kesabaran para pengemudi semakin di uji. Bunyi klakson
membuat telinga peka. Mungkin mereka memang buru-buru sampai membunyikan
klakson seperti orang kerasukan. Atau mungkin mereka memang sudah tak sabar
ingin sampai di rumah bertemu dengan anak-istri mereka.
Ah..anak-istri.
Kulihat
lagi jam dipergelangan tanganku. 5 menit lagi pastilah suara adzan akan
memenuhi kota ini. Tapi aku belum bersiap untuk pulang ke rumah. Aku masih asik
memandangi jalanan di bawah sana. mobil-mobil terlihat keci. Bergerak sedikit,
berhenti lagi.
Bukan,
bukan karena jalanan macet aku tidak pulang ke rumah. Istri ? ya..aku ingat
istriku. Ia baik-baik saja. Tadi pagi ia menyiapkanku sarapan yang sangat
lezat. Aku sangat mencintainya.
Kau
ingin bertanya kenapa aku tak buru-buru pulang menghampirinya lalu mendekapnya
dan mencium keningnya ?
Haha.
Itu aku lakukan tiap hari. Dan itu membuatku semakin tersiksa. Rasanya aku
seperti sedang berada di perapian panas dengan leher tercekik. Sangat
mematikan, tapi aku tak bisa menghindar. Aku terisis-iris.
Kau
bingung dengan penjelasanku ?
Baik.
Akan kujelaskan secara runtun. Sampai kau mengerti dengan jelas mengenai
ceritaku ini.
Bermimpi
menjadi ‘seseorang’ yang terpandang adalah cita-citaku 20 tahun silam. Hari ini
aku sedang menikmatinya. Gedung pencakar langit tempatku berdiri ini menjadi
saksinya. Semuanya terlengkapi sudah. Aku memiliki banyak pundi-pundi uang. Tak
akan habis kalau aku bagi-bagikan untuk satu kecamatan.
Aku
juga memiliki seorang istri yang sangat soleha. Wanita yang di idam-idamkan
banyak pria. Sempurna. Tak ada cela dalam hidupku. Aku orang yang paling
beruntung karena memiliki semua ini.
Tapi
itu hanya kelihatannya saja. Akhir-akhir ini aku tak bahagia. Sangat tak
bahagia. Aku ingin menagis. Tapi aku malu. Aku tidak malu menangis jika
dipangkuan ibuku. Tapi kini beliau telah lebih dulu berpulang padaNya. Aku ini
lelaki dewasa. Dan tak mungkin sembarang menagisi sesuatu hal. Aku tak akan
menangis. Karena aku adalah lelaki dewasa.
Sudah
lima tahun menikah, tapi tak punya momongan. Itu yang membuatku semakin hari
semakin sedih. Aku tak sanggup menerima kebaikan istriku. Aku tak sanggup
melihat diriku sendiri. Aku tak bisa memberinya surga. Ya..surga dunia adalah
anak. Aku tahu itu dari ibuku. Beliau selalu bilang, kalau aku adalah surganya.
Apapun ia akan lakukan untukku. Bahkan baginya, aku lebih berharga dibanding
ayahku. Awalnya kukira itu hanya omong kosong, hanya menyenangkan hatiku.
Sekarang aku mengerti. Ingin sekali aku member surga pada istriku. Ingin aku
melihatnya menikmati surga itu.
Telah
berobat kesana kemari. Rumah sakit-rumah sakit ternama aku sudah hapal
nama-namanya. Tapi tak ada masalah pada kami berdua. begitu kata para dokter
setiap kami cek-up. Keluar negri ? sudah berulang-ulang kami lakukan. Tapi
hasilnya tetap sama. Tak ada masalah pada diri kami berdua.
Berdoa
? aku rasa Yang Kuasa pun sudah bosan mendengar doaku dengan topic yang sama
setiap harinya. Bahkan aku rasa, tak ada wanita yang agamanya lebih taat
dibanding istriku. Setiap saat ia berdoa. Aku sudah bilang, ia wanita yang
soleha. Ia wanita yang cerdas, ia wanita yang sempurna. Tak ada kekurangan
dalam dirinya.
Dengar,
suara adzan sudah berkumandang. Aku rasa hampir seluruh keluarga sedang
berkumpul di rumah mereka masing-masing. Saling bercerita, saling sekedar sapa,
atau sedang mempersiapkan makan malam. Tapi aku masih disini. Berdiri di gedung
tinggi ini.
Ingin
rasanya pulang ke rumah, dan bertemu dengan istriku. Mendekapnya dan mencium
keningnya yang wangi. Tapi itu akan membuatku semakin berdosa. Rasanya seperti
tercabik-cabik.
Kau
tahu kenapa?
Sebenarnya
tak ingin aku menceritakan padamu. Tapi, ya sudahlah. Tak ada rahasia yang tak
akan terkuak. Semua yang tersembunyi akan dibukakan. Hanya masalah waktu.
Aku
lelaki dewasa yang bodoh. Lelaki yang tak bernurani. Aku bukan mengutuki
diriku. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Dan perlu kau tahu. Ternyata,
para dokter itu benar. Mereka mengatakan aku baik-baik saja.
Ya..aku
baik-baik saja sampai-sampai anak gadis orang lain berhasil aku buat berbadan
dua. Sebentar lagi kami akan makan malam di sebuah rest
oran.
Ia telah mengirimku pesan singkat sejak 15 menit lalu. ia sudah berada di tempat
biasa kami bertemu.
Istriku
yang cantik pasti sudah menyediakan makan malam berdua untuk kami. Pastilah ia
memasaknya dengan sepenuh hati. Tinggal menunggu waktu, kapan aku harus
mengungkap semua rahasia ini padanya. Kapan aku siap? Kapan ia siap ?
anggreyan^^
Comments
Post a Comment