Kasih
Sudah lima bulan sejak Kasih kehilangan pekerjannya. Segala jenis pekerjaan sudah ia coba lamar, tapi tak satu pun yang berjodoh dengannya. Rasanya tidak ada lagi upaya yang tersisa. Tabungan semakin menipis, karena malu dengan keadaan, Kasih memutuskan menarik diri dari lingkungan pertemanan sejak dua bulan terakhir. Ia pindah kost, menghapus semua kontak teman-temannya, dan menjalani keseharian yang sepi.
Tak ada hal yang berarti yang ia lakukan. Makan, tidur,
dan nonton. Sesekali menangisi malangnya hidup yang ia rasakan. Bagaimana tidak,
diantara 260jt jiwa di Indonesia ini, kenapa harus dia yang menanggung kesialan
ini? Kenapa hanya jalan buntu yang ia hadapi kemanapun ia melangkah. Benar-benar
putus asa. Kekasih yang tadinya jadi satu-satunya penyemangat, akhirnya
memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka.
Lengkap. Tak ada lagi kurangnya. Tak ada lagi titik yang
lebih rendah dari keadaan yang sekarang. Tidur tidak lagi nyenyak, makan pun
rasaya tak berselera, setiap hari hanya merasakan kesedihan dan kesepian. Lalu tiba-tiba
muncul satu pikiran di kepala Kasih untuk mengakhiri hidup saja.
Ya, jika aku mati, setidaknya kesialan yang sekarang bisa
berakhir. Aku tidak peduli masalah surga dan neraka. Yang kutahu, sekarang ini
dadaku rasanya benar-benar sesak. Kepalaku seperti mau pecah. Aku juga hanya
seonggok daging yang tak berguna di bumi ini. Rasanya, bunuh diri adalah jalan
satu-satunya untuk menghapuskan semua penderitaan ini.
Itu pikiran Kasih yang muncul dan muncul terus. Semakin hari,
dorongan untuk bunuh diri semakin kuat. Setiap melihat keadaan dirinya, ia
semakin mantap untuk memutuskan mati saja.
Kasih pun membaca semua artikel mengenai bunuh diri. Di negara-negara lain banyak kasus bunuh diri karena tekanan. Dan banyak cara yang dapat dilakukan untuk bunuh diri. Ada yang tragis dan ada yang tidak terlalu menyiksa. Kasih menimbang-nimbang, kira-kira metode bunuh diri mana yang akan dia pakai.
Ketika dia memantapkan untuk bunuh diri, muncul satu hal
yang mengganggu pikirannya. “kenapa aku harus bunuh diri? Jika aku
melakukannya, orang-orang hanya akan mengetahuinya saat tubuhku membusuk. Itu berarti
sama saja, hidup tak berarti, mati pun sama saja”
Dia mengurungkan niat bunuh diri dan mencari cara untuk
mati tetapi bermanfaat. Setidaknya, diakhir hidupnya, ada hal yang membuat dia
merasa berarti.
Donor organ. Dia teringat film mengenai kedokteran yang
pernah ia tonton bersama kekasihnya, dua tahun lalu. “Oke, aku tidak akan bunuh
diri. Tetapi aku mau mendonorkan seluruh organ di tubuhku. Aku ingin
menyerahkan semua tubuhku pada dokter. Paling tidak organku masih lengkap,
mungkin bisa membantu orang-orang yang ingin hidup lebih lama lagi”
Kasih memang semakin hari semakin edan. Yaa...begitulah
manusia. Tidak ada yang bisa menebak isi kepalanya, terlepas sewaras apapun
tampak luarnya. Bukannya dia kekurangan pendidikan, bahkan lingkungan pekerjaan
sebelumnya semua adalah orang-orang elit. Tapi apesnya hidup membawanya jadi
seperti sekarang. Bagi dia, tidak ada lagi alasan untuk melanjutkan kehidupan
ini. Dia terlanjur apes.
Setelah memantapkan tekadnya, ia berangkat ke rumah sakit.
Ia juga sudah membaca segala riset mengenai donor organ. Ada sedikit rasa
sedih, karena harus merelakan organnya yang kemungkinan akan berpencar di
tubuh-tubuh lain. Tetapi rasa sedih itu, tidak mengurungkan niatnya. Sudah terlalu
muak dengan hidup yang melelahkan ini.
“Sudah yakin dengan
keputusan ini?” tanya dokter usianya sudah diakhir 30an tersebut.
“Yakin dok, saya sudah terlalu putus asa. Tidak ada
keinginan hidup lagi”
“Maaf, ini diluar konteks. Jika kamu tetap melakukan donor
ini, saya akan kehilangan kamu. Saya ingin membuat kamu mengerti kembali
berharganya hidup. Saya ingin kita berteman lebih dekat. Tolong pertimbangkan
selama satu bulan. Jika 1 bulan keadaan tidak berubah, keputusan kembali kepada
kamu”
Kasih bengong dengan pernyataan dokter tersebut. Dia melihat
dalam ke mata sang dokter. Matanya memancarkan rasa iba, mulai berair. Kasih semakin
bingung.
“Dokter jatuh cinta pada saya? Saya ini mau mengakhiri
hidup lohh” begitu Kasih bertanya tanpa basa-basi.
“Boleh dikatakan iya. Jatuh cinta pada pandangan pertama,
pada pasien yang ingin mengakhiri hidupnya”
“oke...kalau begitu saya pulang dulu dan
mempertimbangkannya. Ini no HP saya, jika dokter ingin mengajak saya kencan
untuk satu bulan kedepan. Saya pamit dulu dok, semangat bekerja untuk hari ini”
Begitulah sesi konsultasi Kasih yang berakhir konyol...
Comments
Post a Comment