Annivesary ke 6
Dua hari lagi, peringatan hari jadian antara aku dan Dian yang ke-6. Aku ingin melamar dan mengajak Dian menikah di tanggal jadian kita. Memang sih, Dian juga sudah berkali-kali meminta kepastian padaku. Bukannya aku tidak mau menikah, tapi aku mau memastikan bahwa semuanya sudah benar-benar settle sehingga nantinya setelah menikah, aku dan Dian tidak lagi struggle untuk masalah kebutuhan dasar. Apalagi kutahu, Dian wanita yang sangat ambisius dalam karir. Beruntungnya, sudah setahun Dian menjadi editor satu majalah, sehingga bisa bekerja di kantor dengan waktu yang teratur. Sebelumnya, Dian menjadi wartawan yang harus meliput berita ke lapangan, waktu yang tidak tentu, dan capeknya double.
Dian yang
ambisius sekaligus perfeksionis memang tidak mempermasalahkan pekerjaannya
tersebut. Hanya saja, aku tidak tega jika setelah nikah nanti, Dian malah menjadi semakin capek, karena yang
kutahu semua wanita pasti akan mendedikasikan diri untuk mengurus suami dan
rumah tangganya kelak. Aku juga gak mau menyuruh Dian berhenti dari
pekerjaannya hanya gara-gara menikah denganku. Pekerjaannya adalah bagian dari
dunianya.
Setidaknya, hal
yang kuharapkan semakin dekat. Dian bekerja kantoran, dengan jam yang teratur,
tabunganku juga sudah lebih dari cukup untuk memulai hidup baru dengan Dian. Rumah
yang akan kami tinggali sebenarnya belum lunas, tapi setidaknya masa cicilan
sisa 3 tahun lagi. Dian bilang, setelah menikah, dia harus turut membayar
cicilan, karena rumah akan dipakai bersama. Dasar Dian, paling takut menerima
apapun dengan cuma-cuma, bahkan dari kekasih sendiri.
“sayang,
walaupun aku pacar kamu, bukan berarti kamu berkewajiban memenuhi semua
keinginan aku, khususnya materi. Aku mampu menghasilkan uang sebatas
kebutuhanku. Kecuali besok aku jadi isterimu, aku juga akan dengan senang hati
kebutuhanku, kebutuhan rumah tangga kita kamu penuhi. Aku juga ga akan berhenti
dari pekerjaan kalau nanti kita udah menikah. Aku tahu, susahnya menghasilkan
uang, aku ga mau semua beban kamu tanggung sendiri. Walaupun manajer, kamu juga
banyak strugglenya” begitu Dian selalu menceramahiku setiap kali aku loyal
mengeluarkan uang padanya. Omelannya ini juga yang membuatku merasa wajib
menyicil rumah, karena aku sangat cinta padanya dan ingin hidup bersamanya,
menua dibawah satu atap yang sama.
Sebenarnya aku
dan Dian sudah beberapa kali ngobrol mengenai pernikahan, parenting, bahkan
hari tua. Kita sepakat, mungkin paling lama kita akan menikah tahun depan. Tapi
ini hanya obrolan antara aku dan Dian. Belum dibawa hingga ke keluarga
masing-masing.
Aku sudah beli kalung
yang nantinya akan kuberi di hari peringatan jadian ke-6 kami. Aku akan
melamarnya. Aku bahkan sudah mencari-cari tempat dinner yang pas untuk perayaan
ini. Di usia sekarang, rasanya tidak terlalu butuh suasana yang terlalu
romantis, yang terpenting nyaman dan intimate. Ditambah aku dan Dian bukan
tipikal melow dan drama. Bahkan kadang Dian tampak lebih sangar dibanding aku.
Sudah dua minggu
terakhir, muncul rasa takut dalam diriku. Mentalku menciut. Aku bahkan selalu
menolak jika Dian mengajak ketemu. Aku juga melarang Dian untuk datang ke
apartemenku. Aku juga tidak pernah lagi menjemput Dian ke kantornya. Udah dua
minggu.
Aku selalu
menjadikan pekerjaan alasan semua ini. Satu waktu, Dian benar-benar jengkel
padaku. “sayang, kayaknya ada yang salah deh. Kamu menjalani pekerjaan ini di
posisi yang sama, bukan baru 1 tahun. Ini tahun ke 3 sayang. Gak masuk akal
banget, kesibukan kantor bikin ga ada waktu ketemu. Ada masalah apa? kenapa aku
gak diijinin ketemu sama kamu? Ada hal yang kamu sembunyiin kan dariku?” Suaraya terdengar marah dan putus asa.
Dua hari aku dan
Dian saling diam. Tidak saling komunikasi. Lalu aku berusaha untuk tetap
contact dia dan minta mengerti untuk sementara. Dian pun akhirnya nurut walau
dengan seribu tanda tanya. Sebenarnya aku bahkan mengambil cuti selama 3 hari
berturut-turut. Tapi aku tidak menemui Dian. Aku hanya diam di kamar dan
menangis. Takut, bingung, kesal, ntahlah, semua bercampur aduk. Aku bagaikan
bocah ingusan yang tak berdaya.
Setelah cuti,
aku kembali beraktifitas di kantor seperti biasa. Tidak ada hal yang berubah dengan
keseharianku, kecuali belum bertemu Dian. Hanya ngobrol dan saling bertukar
kabar melalui HP.
Tapi dua hari
lagi, aku harus bertemu dengannya. Aku semakin takut. Aku semakin merasa tidak
pantas. Aku ingin hilang saja dari muka bumi ini. Tapi Dian? Bagaimana kalau
sepeninggalku, Dian justru menderita. Aku selalu menjanjikan Dian kebahagiaan,
tapi kini aku menyesalinya. Rasanya aku ingin menghilang sekarang juga. Aargghhh....
Bagaimana aku
harus mengatakannya pada Dian. Aku bahkan tidak ingin siapaun tau tentang ini,
tapi ini sungguh membuatku gila. Masih mungkinkah aku melamarnya besok? Masih mungkinkah
aku mengajaknya menikah? Sudah dua minggu burungku tidak bangun. Aku bukan lagi
seorang lelaki. Dian, aku sakit.
Comments
Post a Comment