Pandu Anak Buangan
Buku dengan judul cerita dari Digul berisi tulisan eks digulis yang dikumpulkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Buku ini berisi lima cerita, salah satunya berjudul Pandu Anak Buangan oleh Abdoe’lXarim M.s. Menurut Pram, hingga tahun 1945 hanya inilah karya sastra satu-satunya yang bertemakan psikologi. Secara personal, saya merasa seolah-olah kehilangan hal yang cukup berarti hingga berhari-hari setelah membaca cerita ini. Demikian saya tuliskan potongan/ringkasan cerita Pandu Anak Buangan
***
Pandu, seorang anak dari ayah dan ibunya yang biasa saja, tinggal di suatu kampung dalam daerah Madiun. Pada tahun 1918 Bung Pandu berumur 14 tahun setelah tamat dari sekolahnya yang tidak menggunakan bahasa Belanda, Pandu mendapatkan pekerjaan magang yang tak bergaji di kantor wedana. Bukan karena kepintarannya, namun karena pertolongan salah satu kenalan ayahnya. (wedana= kepala pemerintahan pribumi di distrik)
Di tahun 1921, tiga tahun sudah lamanya Bung Pandu menjadi magang dan tak bergaji. Seorang juru tulis di kantor Assisten Wedana yang sudah tua mengambilnya menjadi menantu. Kenapa Pandu yang seorang magang dan tanpa gaji diambil jadi menantu, itulah kita tidak usah heran, sampai ini hari masih terdapat orang-orang yang melulu gila pangkat, walaupun kepeng cuma sedikit. Bung Pandu yang bertitel magang, diharapkan bahwa menantunya bakal priyayi. (Assisten wedana= setaraf camat)
Ayah Bung Pandu sebenarnya keberatan menerima permintaan juru tulis tersebut mengingat anaknya belum mempunyai pencarian sesen pun. Tetapi karena besannya menyanggupi semua keperluan sehari-hari dari anak dan mantunya, yang bisa didapatnya dari hasil sawahnya, maka ayah Bung Pandu terpaksa menerima perkawinan itu. Bung Pandu sendiri tidak melakukan protes pada perkawinannya. Bung Pandu hanya merasa bangga karena sudah beristri seperti lain-lain kawan sejawatnya.
Sebulan setelah Bung Pandu kawin, mertuanya memberitahu bahwa Bung Pandu mendapatkan gaji f2.50 sebulan. Sebenarnya Bung Pandu digaji seringgit bukan karena tenaganya bekerja dengan sepenuh hati, tetapi karena belas kasihan tuan Assistent Wedana saja.
Pada waktu itu partij Semarangan yang juga dinamakan Sarikat Islam Merah datang di Madiun dan menarik perhatian ayah Bung Pandu dan menumpang pula di rumah ayah Bung Pandu yang akhirnya Bung Pandu sendiri ikut memasuki partij Semarangan tersebut.
Setiap hari, Bung Pandu dinasihati oleh mertuanya supaya keluar dari partij Semarangan itu. Sebab ia mengharapkan Bung Pandu dikemudian hari bisa menjadi priyayi. Nasihat mertua ini tidak bisa dilakukan oleh Bung Pandu karena semakin hari semakin ia mendalami partij Semarangan itu. Pada akhirnya, Bung Pandu dipecat dari pekerjaannya yang bergaji seringgit itu, dan oleh mertuanya dia tidak diterima di rumahnya lagi.
Bung Pandu merasa sedih karena tidak bisa lagi menemui istrinya. Walaupun isteri yang dikawinkan dengan kemauan orang tua kedua belah pihak saja, sudah cukup juga mengikat kecintaan hatinya. Bung Pandu sedih, sebagai kata pantun:
Padi rurut sipadi mayang,
Padi care tangke ladanya,
Sedang diturut sedang disayang,
Bercere muda, sakit rasanya...
Gara-gara...merah...
Hilang isteri, hilang jabatan.
***
Tahun 1922, Bung Pandu melawat ke Semarang. Ada dua maksud: Pertama untuk menghilangkan kecintaannya pada bekas istrinya. Kedua untuk menambah pengetahuannya di dalam hal pergerakannya, yang pada waktu itu kota Semarang menjadi pusat dari gerakan merah. Nama Bung Pandu semakin dikenal lantaran aktif dalam gerakan. Bertemulah Bung Pandu dengan seorang wanita di gerakan tersebut. 3Zus Emi panggilannya. Singkatnya Zus Emi adalah wanita yang cukup menarik dari bahasa, kelakuan, rupa dan kecakapan sehingga menarik perhatian para pemuda. Beruntungnya Bung Pandu, karena Zus Emi juga menaruh hati pada Bung Pandu. ( 3Zus: kata sapaan untuk teman wanita)
Memang Bung Pandu kini sudah beradat lain,..
Dulu Bung Pandu cukup menerima isteri yang dicari oleh orang tuanya, tapi sekarang Bung Pandu, mau bertunangan dulu, ajuk meajuk hati, mengintai-intai dimana ada kecintaan, melihat-lihat di mana hati tersangkut paut. Akhirnya Bung Pandu dan Zus Emi memaklumkan pertunangan di depan teman-teman separtijnya.
Disatu bulan Agustus, satu pemogokan terjadi. Pemimpin sama sibuk mengatur dan menyusun perlawanan kaum buruh yang menuntut perbaikan hidupnya. Diantara pemimpin-pemimpin yang ditangkap, Bung Pandu juga ikut terseret ke dalam penjara. Sepeninggal Bung Pandu, panggilan istrinya pun berganti menjadi Zus Pandu oleh teman-teman separtijnya. Zus Pandu merasa bangga dengan panggilan itu karena kesetiaan suaminya dalam kewajibannya kepada pergerakan.
Setelah satu tahun setengah meringkuk dalam penjara, Bung Pandu bebas dari hukumannya dan langsung pergi ke Madiun untuk bertemu isterinya. Dari Madiun, Bung Pandu dan isterinya berangkat ke Semarang bertemu kawan-kawan separtijnya lalu mengadakan pesta kecil-kecilan untuk perkawinan mereka.
Perkawinan kali ini berbeda dengan sebelumnya. Perkawinan sebelumnya dibikin secara agama, satu aturan yang memberikan hak sepenuhnya bagi dia, bahasa isterinya itu miliknya. Namun mengapa dengan mudahnya orang lain menceraikannya. Jikalau Pandu yang beristeri, kenapakah ayah si isteri berhak menceraikan dia dengan isterinya? Maka rupanya Bung Pandu, mengutamakan kenyataan lebih berguna dari segala aturan agama.
Karena itu sekarang dia membikin aturan baru, aturannya sendiri.
Tanya perempuan, sukakah benar engkau pada aku?
Tanya laki-laki, idem.
Kalau keduanya jawab dengan matang; Ya! Itu lebih baik dari semua aturan.
Pandu dan Emi hidup rukun sekali. Dengan kemiskinan mereka bisa hidup bekerja dalam pergerakan rakyat.
Bertahun-tahun mereka hidup rukun, bertahu-tahun Emi melihatkan kesetiaan kepada suaminya. Beberapa kali pula Pandu ditangkap dipenjarakan, tetapi Emi tinggal tegak berdiri dengan setia. Dunia boleh kiamat, tapi Emiku biarlah tetap dipangkuanku, begitu ucapan di hati Bung Pandu kita.
Hari berganti hari, tahun 1926 terjadi suatu pemberontakan di Betawi dan Bantam.
Tangkap...dimana-mana kedengaran tangkapan.
Buang...buangan.
Digul udik...Boven Digun...
Itu saja yang tercetak di beberapa surat-surat kabar.
Negeri Aladdin...sudah ditentukan.
Bung Pandu tidak terbebas, dia mesti dibuang, walaupun bukan anggota Hoofdbestuur bukan anggota comite pemberontak.( Hoofdbestuur ; dewan pimpinan pusat).
Besluit5 pembuangan ke Digul Udik sudah terimakan kepada Bung Pandu. Di ruang tunggu tahanan, Bung Pandu menerangkan pada isterinya bahasa besluit pembuangannya sudah diterimanya, ia mengharap akan isterinya tentu tidak berkecil hati suka tinggal saja di tanah Jawa. Karena ia tidak suka kalau isterinya ikut menanggung kesengsaraan dan kemelaratan, karena perbuatannya sendiri.
Tapi apa jawab Emi kita?
Janganlah kakak mencoba-coba hati saya. Walau kakak sebenarnya akan menolak saya buat mengikut ke Digul itu, tidak nanti saya akan berdiam diri buat menerima tolakan itu. Jangan sentara tanah pembuangan, api nerakan yang bernyala-nyala akan saya terjuni, jika nyata kakak ada di situ. Pendeknya janji mengikuti dengan setia, telah diucapkan.(Besluit5 ; Surat keputusan)
Dalam list transport, dalam surat perintah sudah dicatat nama-nama orang buangan politik. Itu yang akan dikirim bersama-sama. Begitu juga nama-nama keluarga yang sah. Nama Bung Pandu dan Zus Emi pun tidak ketinggalan.
***
Kapal sudah bergerak, mereka orang buangan itu hanya merasa-rasakan saja dari dalam polka lapis ketiga, karena mereka tak dapat melihat dengan matanya sendiri, bahasa kapal sudah berpisah dari pelabuhan. Comandan transport memberitahu, yang mereka boleh ketemu anak isterinya di atas dek ganti berganti. Bung Pandu merasa girang, serta dengan sukanya sendiri, memilih paling penghabisan sekali dari kawan-kawannya buat naik di atas dek guna menjumpai isterinya.
Bung Pandu sedikitnya berhias diri, membasuh muka, rambut disisir pula sampai licin serta menghafal perkataan-perkataan yang sedap didengar guna diucapkan ke telinga isteri yang kekasih. Giliran datang pada Bung Pandu, giliran yang penghabisan. Pandu naik dengan cepat sekali melalui tangga-tangga kapal itu hingga soldadu yang mengantar ketinggalan di belakang. Bung Pandu sampai di atas dek.
Emi...Emi...Bung Pandu memanggil.
Beberapa kawan menyahut: Siapa yang Bung cari?
Isteri saya, Emi, sahut Bung Pandu, sambil mencari-cari dengan matanya.
O...Allah, betapa terkejutnya dan pucat Bung Pandu, sesudah cape memanggil-manggil nama isterinya dengan tidak mendapat sahutan. Zus Emi tidak ada di kapal. Lemas segala sendi anggotanya Bung Pandu, dengan merasa pilu dan sedih. Keringatnya bercucuran panas dan dingin, dia balik ke dalam polka dengan tidak biacara suatu apa. Perih hati kawan-kawannya itu, lebih pula perih hati Bung Pandu kita.
Nasib anak buangan, Pandu yang malang...
***
Kemana hilangnya Zus Emi kita?
Kita tinggalkan tengah lautan sebentar, kita tinggalkan Bung Pandu dengan air matanya bercucuran karena mengingat peruntungannya. Kita kembali ke daratan, mencari Zus Emi, dimana sebenarnya di berada. Zus Emi memang tidak mengikut, dia ada di Betawi, dia sudah mengikut orang lain. Zus Emi yang begitu tabah hati, sudah dapat ditakut-takutkan orang. Banyak bicara sampai di telinganya, bahasa, Digul Udik itu satu negeri yang cilaka sekali. Banyak binatang buasnya, banyak penduduknya orang kaya-kaya ataupun Papua, yang memakan daging manusia. Banyak bahaya yang boleh dirasai,karena selama turun dari kapal, empat puluh hari perjalanan berkaki di tengah rimba raya, baru sampai ke tempat pembuangan itu. Nyamuknya besar-besar, sebesar kuda. Banyak cerita yang berlebih-lebihan disampaikan orang ke telinganya untuk menakut-nakutkan, supaya jangan mengikut ke pembuangan itu.
Kemudian orang-orang memberikan kepada Zus Emi beberapa pengharapan. Tidakkah engkau bisa mendapat laki-laki lain, yang lebih segala-galanya dari si Pandu itu? Kau boleh mendapat suami yang lebih gagah dan pandai dari si Pandu itu, laki-laki yang sopan, laki-laki yang bisa memberi kau nafkah yang cukup. Dia dibuang seumur hidup, kenapa pula kau turutkan pergi mati. Kau masih muda, carilah kesenangan. Kesenangan boleh kau dapat, asal kau tidak menurut si Pandu itu. Kau masih laku berlaki, nanti kamu carikan laki-laki yang gagah dan berharta. Banyak pengharapan ditimbul-timbulkan kepada Zus Emi kita.
Zus Emi sudah bertukar bulu. Sekarang Zus Emi sudah menjadi isteri mantri politie. Zus Emi yang kita sanjung-sanjungkan dahulu, sekarang kita cerca, kita umpat, sebagai seorang perempuan yang durjana. Memang sudah adat dunia, demikian...
***
Pandu di tanah pembuangan
Hilang hari berganti bulan,
Hilang bulan berganti tahun,
Walau banyak sobat kenalan,
Bung Pandu tetap sebagai kena penyakit ta’un. Ia berpisah dari pergaulan kawan-kawannya, ia berpisah dari segala perkara.
***
Apa yang kejadian selama Bung Pandu menjadi orang pertapaan?
Sakit hatu karena cinta...cinta yang diputus orang. Sakit hati mengingat isteri yang pertama, kenapa mau dipaksa bercerai dengan dia? Bertambah sakit hati mengingat isterinya yang kedua, karena cintanya hanya di bibir. Karena itu Bung Pandu sekarang mempunyai motto: “Perempuan... apa gunanya dilahirkan di atas dunia...? Tidak lain...Cuma menyakitkan hati.
Pendeknya Bung Pandu, sejak itu tidak menghargai perempuan sebagai perempuan lagi. Bung Pandu sudah kebal, kebal atas keyakinannya, bahasa perempuan itu tak boleh dipercaya. Perempuan itu tidak boleh disamakan dengan manusia yang sehat, perempuan tidak lebih satu barang perhiasan di atas dunia.
***
Pandu dan 4 orang laiinnya berencana untuk melarikan diri. Lari dari tempat pembuangan seperti Digul tidaklah mudah. Akan melewati hutan belukar yang berawa-rawa, tidak ada tumbuhan yang dapat dimakan, penduduk asli dalam hutan itu yang dinamakan kayakaya masih suka makan daging manusia yang tidak sekampung dengan mereka, perjalanan sampai di pinggir laut memakan hingga 20hari itupun kalau badan sehat. Intinya siapa yang hendak lari, musti berani mati.
Masing-masing pandu dan temannya membawa bekal ada yang beratnya 50kg, 25kg, dan Pandu seorang hanya mampu membawa 15kg karena badan yang kurus itu. Dipinggang masing-masing terselip sebilah parang dan kapak. Kain selimut, kemeja, pantalon dan sepatu, beras, ikan gereh, lombok rawit, korek api dan tembakau. Yang terutama pil kinine jumlahnya 5 botol, karena penyakit malaria sangat hebat di tempat itu.
Sangat tidak mudah selama perjalanan. Melewati sungai, badan kedinginan karena hujan, pacet yang ada dimana-mana, berupaya bersembunyi dari pemerintah yang partoli mencari orang-orang buangan yang melarikan diri, bekal yang habis hingga harus memakan hewan-hewan yang ada di hutan, hingga di satu hari, hari kesembilan Bung Pandu terkena ranjau babi.
Badan Bung Pandu mendemam, luka semakin parah, tidak ada obat, bengkak, bernanah, hingga perjalanan dihentikan sejenak. Bung Pandu menjadi tidak enak hati pada kawan-kawannya. Sesuai kesepakatan mereka di awal, bahwa jika ada teman yang menyusahkan perjalanan karena satu hal yang tidak bisa di elakkan, baiklah dia ditinggal saja. Akhirnya Bung Pandu tinggal sendiri menahan sakit kakinya dan teman-temannya melanjutkan perjalanan.
Bung Pandu sudah pasrah, toh yang dia cari adalah mati, tapi bukan bunuh diri. Tidak apa jika ia mati dalam kondisi itu, toh hidup tidak lagi ada gunanya, hanya menahan sakit hati yang ditimbulkan perempuan padanya.
Di tengah keputus-asaannya, serombolan orang kayakaya mengelilinginya dan mengamat-amatinya. Bung Pandu hanya membalas mereka dengan senyum walaupun dalam hati dia sudah pasrah. Toh hidup pun tidak ada gunanya lagi dan tidak akan menyambung keturunan.
Nasib berkata lain, Bung Pandu masih memiliki kesempatan hidup. Seorang dari mereka menggendongnya dan membawa ke rumah mereka untuk dirawat. Bung Pandu hanya pasrah dan melihat keadaan.
Ternyata sebelumnya, orang kayakaya pernah juga menolong seorang pelarian dari tanah digul lalu mengantarnya kembali ke tempat pembuangan dengan selamat. Sebagai balas budi, mereka mendapat banyak sekali hadiah. Itu yang diharapkan orang kayakaya ini dari Bung Pandu. Namun Bung Pandu sejujurnya tidak ingin kembali ke tanah pembuangan, ia sengaja lari dari sana.
Bung Pandu dirawat dengan baik oleh orang kayakaya. Diberi makan sepuasnya dari tangkapan berburu. Semakin hari Bung Pandu semakin membaik, namun ia tidak ingin dipulangkan ke pembuangan. Bung Pandu berusaha mengambil hati orang kayakaya tersebut dengan mengajarkan membuat keranjang dari rotan. Ia menjadi guru bagi para perempuan. Tidak hanya keranjang, pengki untuk mengangkat tanah dan kerikil, bubu penangkap ikan, tikar rotan dan sebagainya. Semua penduduk suka pada Bung Pandu. Bung Pandu pun sudah semakin mirip dengan orang kayakaya karena pakaian yang dia gunakan, hanya warna kulit dan jenis rambut yang berbeda.
Seorang gadis di negeri itu yang dinamai dewi dalam rimba Papua. Gadis itu benar menunjukkan kesukaannya pada Bung Pandu. Bung Pandu menyadarinya, namun masih tetap bersikukuh untuk tidak jatuh lagi pada perempuan. Penduduk dinegeri itu mendukung agar Bung Pandu menikah dengan gadis okini yang mencintainya tersebut. Bung Pandu ingin menentang, namun mengingat jasa mereka atas dirinya, dan tidak ingin diperlakukan tidak baik, akhirnya ia mau dinikahkan dengan gadis okini tersebut. Seluruh penduduk sangat bergembira atas pernikahan mereka. Pesta pernikahan itu sangat meriah. Seorang dewi menikah dengan lelaki baik dan tampan. Semua bersuka cita. Bung Pandu pun berusaha menunjukkan sukacitanya.
Setahun sudah Bung Pandu kabur daru Digul, setengah tahun setelah Bung Pandu beristri dan semakin bertambahnya kecintaan isterinya padanya, namun Bung Pandu sebatas suka tak suka. Sang isteri tidak masalah dengan sikap Bung Pandu, karena benar cintanya tulus pada Bung Pandu. Hingga satu hari petugas sampai ke negeri kayakaya untuk patroli mengecek apakah ada orang-orang buangan yang berusaha kabur dan bersembunyi di rumah para penduduk. Bung Pandu pun akhirnya ditemukan dan diberi beberapa pertanyaan. Para petugas memutuskan untuk menangkap Bung Pandu dan akan membawanya kembali sebagai tawanan tanah merah.
Satu jerit yang sangat keras dan memilukan hatu terdengar, Okini telah sampai, memeluk Bung Pandu dengan menangis. Kayakaya yang laun sudah sama bergerak seperti hendak mendekati. Dengan cepat, komandan patrolu itu memberi perintah kepada sekalian serdadunya bersedia dan menghadapkan mulut senapan ke arah orang hutan yang disangka hendak merebut Bung Pandu. Bung Pandu menjelaskan pada orang-orang itu bahwa perempuan itu benar isterinya. Orang-orang itu heran, namun tetap harus menjalankan perintah untuk menangkap Bung Pandu serta tidak boleh membawa ikut serta isterinya.
Tengkurap di tanah sambil menangis, begitu Okini munta kepada wan commandat buat melepaskan suami yang dikasihinya. Ia sedang cinta, cinta sesungguhnya, cinta bukan cinta yang di bibir saja. Okini mendekati wan commandat, dipegangnya perutnya, tiga jarinya dinaikkannya ke atas, sedang tangan kanan menunjuk bulan, yaitu isyarat bahwa dia “sudah hamil tiga bulan”.
Namun apa yang bisa diperbuat orang-orang militer itu. Hanya menjalankan perintah, membawa Bung Pandu dan tetap meninggalkan isteri yang mengandung. Tinggal Okini terguling di atas tanah, menangisi tapak suaminya, suami yang kekasih.
Bung Pandu kembali ke kampung orang buangan, tanah merah. Tidak lagi seperti orang kayakaya yang bertelanjang dada, tapi memakai pakaian bagaimana seharusnya. Banyak pertanyaan orang-orang mengenai perjalanannya selama pelarian itu. Dia ceritakan sebisanya, kecuali perihal pernikahannya dengan orang hutan itu. Itu menjadi rahasianya sendiri. Tetapi dia lupa, petugas yang kemarin membawanya pulang bisa saja membeberkan kejadian hari itu. Dan benar saja, lama-kelamaan cerita itu tersebar juga pada orang kampung. Setiap orang meminta kepastian apakah benar Bung Pandu telah memperistri orang kayakaya, Bung Pandu selalu menjawab: Tidak! Bohong! Karangan!
***
Di satu hari setelah delapan bulann kembalinya Bung Pandu ke tanah merah, seorang perempuan Kayakaya datang ke perbatasan dengan mendukung sebuah kanjut yang dalamnya terisi seorang anak kecul berumur kurang lebih dua bulan dihantar oleh beberapa orang kayakaya laki-laki yang bersenjata panah dan tombak. Mereka menceritakan maksud kedatangan mereka, yaitu menemui ayah sang anak bernama Pandu. Maka orang kayakaya itu disuruh menunggu sedangkan seorang mantri polite pergi ke kampung mencari orang yang bernama Pandu.
Mantri politie bertemu pandu dan menceritakan bahwa seseorang yang mengaku istrinya ingin bertemu. Pandu masih bersikeras dan tidak mau bertemu dengan orang kayakay itu. Sang mantri tidak bisa memaksa Pandu. Ia kembali dan menjelaskan pada perempuan itu, bahwa suami yang ia cari tidak ada.
Dengan sedih sekali Okini yang malang itu ke kampungnya bersama anak dan kawan-kawannya. Dengan hati yang hancur. Hati yang satu-satunya, hati yang tidak bisa diganti, hati yang boleh membawa maut.
***
Sebenarnya Pandu mendapat dukungan dari teman-temannya. Jika benar dia telah beristri selama pelarian, tidak perlu malu mengakuinya. Toh lebih baik beristri dengan orang hutan yang setia daripada beristri orang sopan tapi curang. Tapi Bung Pandu berkeras hati tidak mau mendenganr nasihat temannya. Kabar inipun lama-lama tersebar dipenjuru kampung. Pandu pun menjadi bahan omongan orang-orang, kelakuannya itu sangat tidak disukai oleh kawan-kawannya.
***
Berbulan bulan setelah kejadian itu, kini tanah merah sudah semakin bebas dimasuki oleh orang hutan. Bahkan sudah banyak orang merah yang tinggal di tanah merah. Tetapi Bung Pandu masih tetap sendiri, karena dijauhi oleh teman-temannya karena ulahnya sendiri. Diam-diam diapun insyaf akan dirinya. Ia membujuk dan mendesak Kanggerop agar mempertemukannya dengan Okini dan anaknya. Ia ingin membawa anak dan istrinya ke kampung. Lama si Kanggerop berdiam diri, dan air matanya mengalir. Bung Pandu berpikir, apakah istrinya tidak sudi lagi bersuamikan dia ataukah isterinya sudah kawin lagi dengan laki-laki lain.
Kanggerop berkata ”Okini kinun”. Kinun artinya mati.
Anaknya duluan mati karena tidak terurus, karena menyusu dari badan ibunya yang tidak sehat. Seminggu setelah kematian anaknya, iapun menyusul juga ke negeri baka.
Nasibnya Dewi Papua.
Korban dari pada perbuatan orang-orang sopan.
Comments
Post a Comment